Minggu, 26 April 2015

Permasalahan Industrialisasi

PERMASALAHAN INDUSTRIALISASI


Kendala bagi pertumbuhan industri di dalam negeri adalah ketergantungan terhadap bahan baku serta komponen impor. Mesin-mesin produksi yang sudah tua juga menjadi hambatan bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Permasalahan-permasalahan tersebut telah menurunkan daya saing industri dalam negeri. Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasinya. Responsnya adalah dibuat Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri.
Namun, fakta di lapangan jauh dari harapan. Regulasi pemerintah pusat tak seiring dengan regulasi pemerintah daerah. Bahkan, di antara kementerian teknis bukan kebijakan sendiri-sendiri.Tahun 2010-2014, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri nonmigas 8,95 persen dan kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto 24,67 persen. Ditargetkan total investasi 2010-2014 mencapai Rp 735,9 triliun.
Untuk mencapai target itu, Kementerian Perindustrian membuat kerangka pembangunan industri nasional. Kerangka itu yang akan menjadi acuan untuk membangkitkan industri agar siap menghadapi perdagangan bebas dan ASEAN Economic Community.
Agar siap menghadapi itu semua, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, peningkatan daya saing menjadi kunci utama. Leadership, mulai dari presiden hingga pejabat pemerintah lainnya, yang mau mengenakan produk dalam negeri juga tidak boleh diabaikan.

Masalah dalam industri manufaktur nasional:

1. Kelemahan struktural

  • Basis ekspor & pasar masih sempitè walaupun Indonesia mempunyai banyak sumber daya alam & TK, tapi produk & pasarnya masih terkonsentrasi:
  1. Terbatas pada empat produk (kayu lapis, pakaian jadi, tekstil & alas kaki)
  2. Pasar tekstil & pakaian jadi terbatas pada beberapa negara: USA, Kanada, Turki & Norwegia, USA, Jepang & Singapura mengimpor 50% dari total ekspor tekstil pakaian jadi dari Indonesia.
  3. Produk penyumbang 80% dari ekspor manufaktur indonesia masih mudah terpengaruh oleh perubahan permintaan produk di pasar terbatas
  4. Banyak produk manufaktur terpilih padat karya mengalami penurunan harga muncul pesaing baru seperti cina & vietman
  5. Produk manufaktur tradisional menurun daya saingnya sbg akibat factor internal seperti tuntutan kenaikan upah

  • Ketergantungan impor sangat tinggi

1990, Indonesia menarik banyak PMA untuk industri berteknologi tinggi seperti kimia, elektronik, otomotif, dsb, tapi masih proses penggabungan, pengepakan dan assembling dengan hasil:

  1. Nilai impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi diatas 45%
  2. Industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi & kulit bergantung kepada impor bahan baku, komponen &  input perantara  masih tinggi.
  3. PMA sector manufaktur masih bergantung kepada suplai bahan baku & komponen dari LN
  4. Peralihan teknologi (teknikal, manajemen, pemasaran, pengembangan organisasi dan keterkaitan eksternal) dari PMA masih terbatas
  5. Pengembangan produk dengan merek sendiri dan pembangunan jaringan
    pemasaran masih terbatas

  • Tidak ada industri berteknologi menengah
  1. Kontribusi industri berteknologi menengah (logam, karet, plastik, semen) thd pembangunan sektor industri manufaktur menurun tahun 1985 -1997.
  2. Kontribusi produk padat modal (material dari plastik, karet, pupuk, kertas, besi & baja) thd ekspor menurun 1985 –1 997
  3. Produksi produk dg teknologi rendah berkembang pesat.

  • Konsentrasi regional

              Industri menengah & besar terkonsentrasi di Jawa.

2. Kelemahan organisasi

  • Industri kecil & menengah masih terbelakangèproduktivtas rendahèJumlah Tk masih banyak (padat Karya)
  • Konsentrasi Pasar
  • Kapasitas menyerap & mengembangkan teknologi masih lemah
  • SDM yang lemah


REFERENSI:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar