CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Sudah 68 tahun
bangsa Indonesia merdeka. Apakah tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang
diperjuangkan para pahlawan yang menebus kemerdekaan dengan keringat, air mata,
darah, dan bahkan jiwa raganya sudah tercapai?
Apakah
kita masih dalam jalur dalam meniti cita-cita perjuangan mereka? Ataukah kita
telah tega mengkhianati perjuangan dan cita-cita perjuangan mereka dengan
menyelewengkan amanat dan kepercayaan yang diberikan? Peringatan hari
kemerdekaan Indonesia sudah selayaknya dirayakan dengan sukacita.
Rakyat
Indonesia sudah terbiasa mengisinya dengan berbagai perlombaan dan hiburan
serta pesta rakyat yang mengundang kegembiraan dan keceriaan, karena
kemerdekaan itu memang merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah SWT untuk
bangsa Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan para pejabat dan
penyelenggara negara.
Apa
sebenarnya tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia? Jika kita buka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada bagian Pembukaan
alinea IV disebutkan bahwa tujuan kemerdekaan dan dibentuknya Negara Republik
Indonesia ada empat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bung
Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya
kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta,
Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk
sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato
Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)
Karena
itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian
merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar
cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial
dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Artinya,
dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak
menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan
kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat.
Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya
cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka
para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita:
Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama
bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam
pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran
bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang
bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi
(ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi
ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi,
termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Sayang,
sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur),
proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal
33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh
kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu,
pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara
langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya,
cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas.
Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya,
yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,
ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan
ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik.
Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan
jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara
lain.
Sungguh
luar biasa tujuan dan cita-cita kemerdekaan yang dirumuskan para pendiri negara
ini. Tujuan itu mereka susun dalam kalimat yang begitu sederhana, namun jelas
dan tegas serta telah mencakup semua hal, baik politik, ekonomi, sosial, maupun
pertahanan dan keamanan. Pada poin pertama, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terkandung arti keinginan untuk
melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Perlindungan
di sini juga harus dimaknai dalam arti luas, bukan saja perlindungan secara
fisik dan menciptakan keamanan, tetapi juga perlindungan hukum, dan kedaulatan
negara. Coba kita renungkan apakah tujuan ini sudah tercapai? Kita jangan
berbicara soal statistik di sini, karena kalau masih ada satu orang saja warga
negara Indonesia yang tidak terlindungi berarti tujuan tersebut belum tercapai.
Memajukan
kesejahteraan umum adalah tujuan dan cita-cita kemerdekaan untuk aspek sosial
ekonomi. Tanpa kecuali negara harus mengupayakan kesejahteraan kepada seluruh
rakyat Indonesia. Kesejahteraan di sini dapat diartikan sebagai kondisi yang
cukup sandang, pangan dan papan, serta terjaminnya fasilitas kesehatan bagi
rakyat Indonesia Artinya pemerintah harus mengupayakan seluruh sumber daya dan
kekayaan yang dimiliki negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Jika
ini sudah tercapai, tidak akan lagi kita temui gelandangan dan pengemis yang
berkeliaran di jalan, orang yang hidup di antara tumpukan sampah dan bernaung
di bawah jembatan, angka kriminalitas juga akan turun dan seterusnya. Bagaimana
kondisi itu saat ini, saya kira semua sudah tahu jawabannya. Kembali angka
statistik bukanlah alasan dan jawaban yang bisa diargumentasikan di sini.
Akhirnya,
kita patut bertanya, apakah pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi
cita-cita kita berbangsa? Silahkan memeriksa cita-cita perekonomian kita ketika
para pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini.
REFERENSI:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar