Sabtu, 25 April 2015

Konsep dan Pengertian Kemiskinan

KONSEP DAN PENGERTIAN KEMISKINAN

Menurut Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Achmad Rozany (2008 : 3 – 4) “kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan atas tiga pengertian, yaitu kemiskinan subyektif, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam pengertian kemiskinan subyektif, setiap orang mendasarkan pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa kebutuhannya tidak terpenuhi secara cukup walaupun secara absolut atau relatif sebenarnya orang itu tidak tergolong miskin”. Kemiskinan subyektif terjadi karena individu menyamaratakan keinginan (wants) dengan kebutuhan (needs). Pengertian kemiskinan absolut adalah kondisi di mana seseorang atau keluarga memiliki pendapatan tetapi tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan minimumnya sehari-hari secara efisien. Pengertian kemiskinan relatif berkaitan dengan konsep relative deprivation di mana kemampuan pemenuhan kebutuhan seseorang atau sebuah keluarga berada dalam posisi relatif terhadap anggota masyarakat lain yang tinggal dalam satu wilayah. Konsep ini terkait erat dengan ketimpangan pendapatan.
Pengertian kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan Achmad Rozany (2008) berbeda dengan pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik. Menurut BPS (2008), berbagai masalah kemiskinan dapat dikelompokkan dalam empat terminologi, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan absolut menurut BPS, ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan pokok minimumnya seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan nilai minimum kebutuhan dasar yang dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Oleh karena itu, penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Pengertian kemiskinan absolut lebih banyak digunakan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada berbagai sektor pelayanan publik, misalnya di bidang pangan, kesehatan, pendidikan dan perumahan. Untuk mengukur kemiskinan dan kriteria penduduk miskin, pemerintah antara lain menggunakan pendekatan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk pemenuhan kebutuhan dasar minimum, pendekatan rata-rata per-kapita dan pendekatan klasifikasi keluarga sejahtera seperti yang digunakan oleh BKKBN. Pada tahun 2004 BPS menggunakan pendekatan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan 2.100 kkal/hari ditambah pengeluaran bukan makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang, kesehatan, pendidikan, transport dan barang-barang lainnya). Pada tahun 2008, BPS menetapkan lagi 8 variabel yang dianggap layak dan operasional sebagai indikator untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu : 1) luas lantai per-kapita, 2) jenis lantai, 3) air minum/ketersediaan air bersih, 4) jenis jamban/wc, 5) kepemilikan aset, 6) pendapatan per-bulan, 7) pengeluaran, khususnya prosentase pengeluaran untuk makanan dan 8) konsumsi lauk pauk.
Pendekatan yang digunakan BPS relatif lebih sederhana dan mudah dilakukan pengukurannya dibandingkan beberapa pendekatan dan pengertian lainnya mengenai kemiskinan. Namun pendekatan dan pengukuran ini mempunyai kecenderungan mengabaikan perkembangan standar kebutuhan minimum manusia yang mengikuti perkembangan dan kemajuan pembangunan maupun teknologi. Sebagai contoh, sebelum era tahun 2000 kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan komunikasi dapat terpenuhi melalui media cetak (koran dan majalah) dan media elektronik (radio dan televisi). Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat sudah mengalami peningkatan yang sangat tinggi terhadap televisi kabel, telepon kabel, telepon seluler dan internet.
Penggunaan definisi kemiskinan absolut dalam perencanaan program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah karena definisi dan pendekatan yang tersebut dapat digunakan untuk menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu atau perkiraan dampak suatu proyek terhadap kemiskinan. Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia untuk dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Bank Dunia menggunakan pendekatan ini karena memudahkan dalam menentukan kemana dana bantuan akan disalurkan dan kemajuan yang dicapai suatu negara dapat dianalisis.
Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS (2008) adalah “suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan”. BPS mengemukakan bahwa standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk miskin. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk. Pengertian kemiskinan relatif sebagaimana yang dikemukakan oleh BPS lebih menunjuk pada kesenjangan pendapatan dan pengeluaran antar wilayah dalam suatu negara atau antar negara di dunia. Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS cenderung mengarah pada ukuran kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap masyarakat sedangkan pengertian kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan Akhmad Rozany lebih menunjuk pada pembandingan kondisi obyektif tingkat kesejahteraan seseorang terhadap orang lain dalam suatu wilayah atau suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda wilayah. 
Pengertian yang dikemukakan Suparlan memandang kemiskinan sebagai suatu masalah yang relatif pada seseorang atau sekelompok orang dalam suatu wilayah. Pengertian kemiskinan ini juga merujuk pada perbedaan status sosial dan ekonomi anggota-anggota masyarakat dalam suatu komunitas. Dalam pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Sarasutha dan Noor maupun Suparlan terlihat bahwa tidak ada ukuran yang baku yang digunakan untuk menetapkan suatu kondisi individu atau kelompok sebagai kondisi miskin. Tidak adanya pengukuran yang baku mengenai kondisi miskin yang relatif tersebut di satu sisi memudahkan untuk menentukan kelompok sasaran pemberdayaan berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap perbedaan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam suatu komunitas. Namun di sisi lain, tidak adanya ukuran standar yang baku untuk menetapkan tingkat kemiskinan dalam pengertian kemiskinan relatif ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak ada standar kondisi yang ingin dicapai dalam program pemberdayaan dan kemiskinan relatif ini akan terus terjadi karena ketika kelompok sasaran diberdayakan dan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu selalu ada kemungkinan kelompok keluarga mampu yang dijadikan pembanding meningkat lagi kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Berbeda halnya dengan BPS yang menetapkan garis kemiskinan dalam terminologi kemiskinan relatif. Garis kemiskinan untuk setiap sebuah provinsi di Indonesia tidak sama garis kemiskinan di provinsi lainnya. Demikian pula garis kemiskinan masing-masing kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang sama. Sebagai contoh, BPS (2008) menetapkan garis kemiskinan (kapita/bulan) perdesaan di Jawa Barat[1] sebesar Rp.155.367,- sedangkan di perkotaan sebesar Rp. 190.824,-. Perbedaan ini terjadi karena harga-harga kebutuhan dasar minimum di perdesaan yang relatif lebih kecil daripada di perkotaan. Perbedaan garis kemiskinan juga disebabkan oleh perbedaan jenis kebutuhan minimum, misalnya : masyarakat miskin perdesaan biasanya mempunyai rumah sendiri sekalipun kondisinya kurang layak sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di rumah sewa atau kontrakan.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai kemiskinan relatif, penulis mencermati adanya kaitan langsung antara pengertian kemiskinan relatif dengan pengertian kemiskinan subyektif. Seseorang atau sekelompok orang merasa dirinya miskin bukan hanya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya tetapi mereka merasa miskin karena membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya mempunyai kehidupan dan status sosial ekonomi yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, ada orang atau sekelompok orang yang memandang orang lain sebagai orang miskin karena membandingkan kemampuan dirinya terhadap ketidakmampuan orang atau kelompok lain tersebut.
Individu atau kelompok yang merasa dirinya miskin tetapi mempunyai motivasi tinggi untuk mengatasi masalahnya cenderung melakukan berbagai cara dan usaha untuk keluar dari kondisi miskin yang dialaminya. Namun pada individu atau kelompok tertentu kondisi miskin tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa, berlangsung dalam waktu yang lama bahkan diturunkan dari generasi ke generasi. Sikap dan pandangan kelompok yang menganggap kemiskinan sebagai hal yang biasa oleh Taylor (2007) disebut sebagai ’kondisi membiasanya penderitaan’.

REFERENSI:
  1. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/mkdu_isd/bab8-ilmu_pengetahuan_teknologi_dan_kemiskinan.pdf
  2. https://oceannaz.wordpress.com/2010/07/29/kemiskinan-pengertian-dimensi-indikator-dan-karakteristiknya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar